ARIO BLEDEG Pendekar Keris Tujuh Petir Karya: Bastian Tito Petir Di Mahameru (Bagian 2) TUJUH PERTEMPURAN DI SENJA HARI KI SURO Gusti Bendoro memang sudah memaklumi kalau nenek jahat berjuluk Si Lidah Bangkai itu akan menyerangnya. Karena telah berlaku waspada maka begitu diserang dengan satu gerakan cepat dia miringkan badan dan kepala ke kiri. Lidah merah panjang bercabang dua si nenek melesat ganas hanya seperempat jengkal di samping leher orang tua berjubah putih itu. Lalu craasss! Ujung lidah menancap dalam di batang pohon tempat di mana sebelumnya Ki Suro duduk bersandar. Ketika lidah ditarik, kelihatan satu lobang besar mengepulkan asap di batang pohon! Sepertiga bagian dari batang pohon itu berubah menjadi hitam gosong seperti terbakar. Si Lidah Bangkai dongakkan kepala tertawa lantang. Lidahnya yang panjang basah keluar bergulung-gulung. Lalu dia hentikan tawanya dan semburkan ludah berwarna merah ke tanah. Sepasang matanya menatap garang tak berkesip pada kakek di hadapannya. Saat itu Ki Suro Gusti Bendoro telah bangkit berdiri. Tangan kirinya memegang Kitab “Hikayat Keraton Kuno” sedang di tangan kanannya tergenggam sebatang tongkat bambu berwarna kuning. Sebelumnya Ki Suro memang telah pernah mendengar bagaimana hebat dan ganasnya nenek yang ada di hadapannya itu. Namun dia tidak menduga kalau lidah si nenek benar-benar dahsyat mengerikan seperti itu. Kalau saja dia tidak cepat mengelak, apa jadinya dengan dirinya. Batang pohon yang begitu kokoh bisa dibuat berlubang dan hangus laksana dipanggang api! Apalagi tubuh manusia! Walau hatinya tercekat namun Ki Suro tetap perlihatkan air muka penuh ketenangan. Malah dengan suara lembut dia menegur, “Lidah Bangkai, menginginkan barang milik orang lain secara tidak sah merupakan satu perbuatan tidak terpuji. Apalagi disertai maksud hendak mencelakai dan membunuh! Kuharap sampeyan segera sadar apa yang barusan sampeyan lakukan. Tidak ada kehidupan yang paling nikmat di dunia ini selain berdampingan dalam kebaikan dan persahabatan antara sesama kita umat Tuhan Yang Maha Pengasih Maha Penyayang.” Ditegur seperti itu Si Lidah Bangkai tertawa mengekeh. Suara tawanya seperti kuda meringkik. Sisik hitam kebiruan yang melapisi mukanya kelihatan bergerak-gerak hidup seperti tumbuhan laut. “Ki Suro! Khotbahmu pada sore menjelang senja ini sungguh enak didengar!” kata Si Lidah Bangkai lalu tertawa gelak-gelak dan kembali meludah ke tanah. “Aku tidak berkhotbah. Aku hanya memberitahu bahwa begitulah adanya kenyataan hidup. Terserah masing-masing kita. Apakah mau hidup sengsara dalam kesesatan atau dalam berkah di jalan lurus yang telah disediakan Illahi. Saat ini aku bermohon kepada Yang Maha Kuasa agar sampeyan dilimpahkan berkah ditunjukkan jalan yang benar dan keluar dari kesesatan.” Si Lidah Bangkai mendengus. “Apa yang tadi kau katakan itu adalah jalan pikiran dan jalan hidupmu! Setiap manusia punya cara berpikir dan jalan hidup sendiri-sendiri! Aku tidak pernah merasa hidup dalam sengsara dan kesesatan! Kau merasa hebat sendiri hingga pandai mengada-ada! Kau bilang perbuatanku tidak terpuji! Tapi aku sendiri mengatakan perbuatanku itu justru sangat terpuji dan hebat luar biasa! Aku ingin menyelamatkan sebuah pusaka keraton yang tidak layak berada di tanganmu!” “Pusaka keraton? Apa maksud sampeyan?” tanya Ki Suro Gusti Bendoro dengan perasaan heran mendengar kata-kata Si Lidah Bangkai. “Kitab di tangan kirimu itu!” kata Si Lidah Bangkai sambil menuding dengan telunjuk tangan kirinya, “Itu yang kumaksudkan dengan pusaka keraton! Serahkan kitab itu padaku sekarang juga! Atau kau akan kubuat seperti pohon itu. Mati dalam keadaan tubuh hangus gosong!” Ki Suro Gusti Bendoro perhatikan sesaat kitab rapuh daun lontar di tangan kirinya lalu gelengkan kepala. “Aku tidak pernah tahu kalau ini adalah pusaka keraton. Mungkin sampeyan mengada-ada. Bahkan membuka dan membaca isinya pun aku belum berkesempatan. Apapun kitab ini adanya tidak mungkin kuberikan pada sampeyan. Kitab ini diberikan seseorang padaku. Merupakan barang titipan. Berarti harus kujaga baik-baik.” “Sayang sekali! Kalau begitu aku memang harus mengambil kitab itu bersama nyawamu!” kata Si Lidah Bangkai pula. Begitu selesai berucap nenek jahat ini menerjang ke depan. Mulutnya dibuka lebar-lebar. Cairan merah menyembur disusul dengan melesatnya lidah panjang bercabang. Laksana seekor ular, lidah bercabang itu mematuk. Yang jadi sasaran kali ini adalah dada Ki Suro Gusti Bendoro, tepat di bagian jantungnya. “Lidah Bangkai, otak sampeyan rupanya telah beku. Telinga sampeyan mungkin telah tertutup debu dan hati sampeyan agaknya telah menjadi batu, hingga tak mau mendengar apa yang aku ucapkan. Aku sedih sekali. Mudah-mudahan Tuhan masih mau memberi petunjuk pada sampeyan...” Sambil berucap Ki Suro Gusti Bendoro dengan cepat gerakkan tangan kanannya. Tongkat bambu kuning yang dipegangnya melesat di depan dadanya, menghalangi gerakan lidah lawan yang hendak menusuk. Desss... desss! Tongkat dan lidah basah merah saling beradu dua kali berturut-turut. Ki Suro merasakan tangan kanannya bergetar disertai menjalarnya hawa mencucuk. Sebaliknya Si Lidah Bangkai kelihatan mengernyit seperti menahan sakit. Kemudian terjadilah satu hal yang luar biasa. Lidah si nenek membuat satu gerakan berputar sebat. Membelit tongkat bambu di tangan Ki Suro. Begitu Si Lidah Bangkai menyentakkan lidahnya maka tongkat itu tertarik keras. Bagaimanapun Ki Suro berusaha mempertahankan tetap saja tongkat itu masuk ke dalam mulut si nenek terus amblas ke dalam perut! Si Lidah Bangkai keluarkan tawa seperti ringkikan kuda. Sambil tertawa dia usap-usap perutnya seolah seorang yang kenyang habis menyantap makanan enak. Mulutnya yang terbuka lebar memperlihatkan deretan gigi-gigi besar berwarna merah. Air liurnya yang juga berwarna merah berlelehan ke dagunya. “Ki Suro, kini biar aku yang memohon pada Tuhanmu supaya matamu bisa terbuka, agar otakmu dibuat encer, hatimu dibuat leleh dan kau mau menyerahkan kitab itu padaku! Atau kau lebih suka bersatu dengan tongkatmu dalam perut besarku!” Ki Suro tersenyum mendengar kata-kata si nenek. Dengan tenang dia menjawab, “Memohon pada Tuhan adalah satu kewajaran. Tapi adalah keliru jika memohon untuk hal yang tidak baik dan bukan bersifat kebajikan. Aku kagum dengan kehebatan ilmu kesaktian sampeyan hingga bisa menelan tongkat bambu milikku. Hanya sayang, ilmu tinggi itu sampeyan pergunakan tidak pada tempatnya. Sampeyan keliru, bukan di dalam perut sampeyan tongkat itu seharusnya mendekam. Segala sesuatu sudah diatur bentuk dan tempatnya oleh Yang Maha Kuasa. Jadi harap sampeyan suka mengembalikan tongkatku!” Ki Suro tutup ucapannya dengan mengulurkan tangan kanan. Empat jari ditekuk ke belakang. Jari telunjuk diarahkan ke pusar Si Lidah Bangkai. Ketika jari itu digerak-gerakkan ke belakang terjadilah satu hal yang membuat si nenek berseru kaget. Breeettt! Pakaian Si Lidah Bangkai robek di bagian pusar. Dari robekan itu perlahan-lahan menyembul keluar tongkat bambu kuning milik Ki Suro Gusti Bendoro yang tadi ditelannya! Sementara Si Lidah Bangkai tercekat kaget, Ki Suro gerakkan lima jari tangan kanannya ke belakang seperti orang memanggil. Settt! Tongkat kuning melesat dan kembali berada dalam genggaman tangan kanan orang tua itu. Dengan mata mendelik si nenek perhatikan dan pegang pusarnya. Kalau tongkat bambu itu bisa keluar dari perutnya lewat pusar, jangan-jangan pusarnya telah bolong! Dia merasa lega ketika dapatkan pusarnya tidak cidera. Tapi tengkuknya telah terlanjur dingin karena kecut. Walau demikian si nenek masih mampu untuk tidak memperlihatkan rasa takutnya di hadapan lawan. Sementara itu, sambil melintangkan tongkat bambu di atas dada Ki Suro berkata, “Cukup sudah kita berlaku seperti anak-anak. Sebentar lagi senja akan berakhir. Saat bagiku untuk menunaikan sholat Magrib. Harap sampeyan suka pergi dengan tenang dan hati bersih. Bagiku apa yang telah terjadi telah kulupakan.” Ki Suro membungkuk memberi hormat pada si nenek. Tetapi sambutan Si Lidah Bangkai justru berkebalikan. Setelah keluarkan suara mendengus dan meludah ke tanah dia berkata, “Ki Suro, jangan bertingkah sombong, menyuruh aku pergi! Aku tidak angkat kaki dari tempat ini tanpa kitab itu!” Si Lidah Bangkai lalu buka mulutnya lebar-lebar. Ludah merah menyembur disusul dengan gulungan lidahnya yang menjulur sampai sepanjang dua tombak. Dengan tangan kanannya si nenek cekal erat-erat pangkal lidah lalu sekali dibetot lidah itu tanggal dari mulutnya! Begitu lidah diputar ludah merah bermuncratan membasahi wajah dan jubah putih Ki Suro. Si Lidah Bangkai kembali memutar lidahnya. Taarrr! Taaarrr! Lidah panjang seolah berubah menjadi cambuk. Berkiblat di keremangan senja, membuntal cahaya merah, menghantam ke arah Ki Suro Gusti Bendoro! “Tuhan Maha Besar, beri hambaMu kesabaran menghadapi manusia sesat lupa diri ini,” kata Ki Suro. Lalu dia cepat menghindar. Bummmm! Kraaak! Satu letusan keras disusul suara patahnya batang pohon yang kemudian menggemuruh roboh akibat hantaman lidah yang telah berubah seperti cambuk. “Luar biasa... Luar biasa!” kata Ki Suro dalam hati, “Sayang ilmu yang begitu tinggi dipergunakan di jalan sesat!” Cambuk lidah kembali menghantam. Karena Si Lidah Bangkai mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya maka cambuk lidah menyambar disertai gelegar suara seperti petir berkiblat. Cahaya merah bergulung-gulung mengurung Ki Suro. Untuk menyelamatkan diri Ki Suro harus bergerak cepat, berkelebat kian kemari dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Selama lima jurus kakek ini digempur habis-habisan. Walau tidak sekalipun cambuk lidah di tangan lawan mengenai diri atau pakaiannya, namun cipratan cairan merah yang membasahi lidah itu tidak dapat dihindarinya. Muka dan jubah Ki Suro penuh noda-noda merah seperti diperciki darah. “Lidah Bangkai, sadarlah! Hentikan seranganmu! Pergilah dari sini!” Ki Suro memberi ingat. Dia masih berharap agar si nenek sadar dari perbuatannya. “Bagaimanapun jahatnya seseorang, satu kali masakan tidak bisa dibuat sadar...” begitu kiai berhati tulus ini berpikir. *** DELAPAN KALA SRENGGI NENEK berjuluk Si Lidah Bangkai yang inginkan kitab “Hikayat Keraton Kuno” mana mau perdulikan teriakan Ki Suro Gusti Bendoro. Malah dia lancarkan serangan lebih gencar. Tubuhnya yang mengenakan pakaian serba hitam lenyap di kegelapan senja. Yang terlihat hanya cahaya merah redup membuntal keluar dari cambuk lidah, laksana curahan hujan mengurung si kakek. Karena mengambil sikap bertahan dan tak sekalipun mau balas menyerang, lama-lama Ki Suro jadi terdesak dan jurus demi jurus keadaannya semakin berbahaya. “Aku tidak takut mati. Tapi kalau harus menemui ajal di tangan perempuan sesat ini bisa-bisa aku tidak akan tenteram di liang kubur. Tuhan, ampuni diriku jika aku berbuat salah mempergunakan ilmu kepandaian untuk menghadapinya.” Setelah berucap di dalam hati seperti itu Ki Suro masih belum mau turun tangan. Dia memberi kesempatan sampai dua jurus di muka dan berteriak mengingatkan lawannya agar menghentikan serangan lalu pergi dari situ. Tapi si nenek seperti orang kemasukan setan malah memperhebat serangan cambuk lidahnya. Ki Suro tenggelam lenyap dalam buntalan cahaya merah. Di pertengahan jurus ke dua belas terdengar suara breettt! Ujung cambuk lidah berhasil merobek bahu kanan jubah putih Ki Suro Gusti Bendoro. Orang tua ini melompat keluar dari gulungan serangan lawan. Untung senjata lawan tidak sampai melukai kulitnya. “Lidah Bangkai, aku tidak yakin kau benar-benar hendak berbuat jahat terhadap diriku. Kuharap kau mau menyudahi urusan dan pergi dari sini!” Ki Suro memberi ingat untuk kesekian kalinya. “Ki Suro, Lidah Bangkai tidak pernah menyelesaikan urusan tanpa membawa hasil. Aku sudah terlanjur menentukan minta kitab dan juga nyawamu!” menjawab Si Lidah Bangkai lalu didahului tawa bergelak dia kiblatkan kembali cambuk lidahnya. Taaarrr! Taarrr! Taaarrr! Cambuk merah mendera udara senja yang semakin gelap. Ujungnya mendadak berubah menjadi tiga. Satu menghantam ke arah kepala Ki Suro. Satu lagi menyambar ke perut dan ujung yang ke tiga melesat ke arah tangan kiri yang memegang kitab daun lontar. Kehebatan serangan yang dilancarkan Si Lidah Bangkai memang luar biasa. Ki Suro tidak tahu mana dari tiga ujung lidah itu yang merupakan serangan sebenarnya. Karenanya untuk membentengi diri dia putar tongkat bambu kuningnya dalam gerakan setengah lingkaran. Wuutttt! Sinar kuning bertabur dalam kegelapan senja. Dua cahaya merah ujung cambuk lidah langsung lenyap amblas karena memang bukan ujung cambuk sebenarnya. Tapi ujung cambuk yang ke tiga, laksana kilat tahu-tahu telah menyambar pergelangan tangan kiri Ki Suro, langsung melilit naik ke arah kitab daun lontar yang dipegangnya! Ki Suro terkejut besar. Dia lebih baik memilih tangannya cidera daripada kitab sampai kena dirampas orang. Begitu ujung cambuk lidah melesat ke arah kitab daun lontar, si kakek segera lemparkan kitab itu ke udara. Bersamaan dengan itu dia putar pergelangan tangan kirinya lalu disentakkan. Si Lidah Bangkai merasa seperti ada satu kekuatan raksasa menarik tangannya hingga dua kakinya terangkat dari tanah. Selagi tubuh lawan melayang di udara, Ki Suro angkat kaki kanannya. Dia tidak menendang melainkan hanya menunggu datangnya tubuh lawan. Tapi apa yang terjadi seolah-olah kakek ini melancarkan tendangan sekuat tenaga. Begitu telapak kakinya menempel di dada Si Lidah Bangkai, tubuh nenek ini langsung mencelat mental sampai dua tombak. Pegangannya pada cambuk lidah terlepas. Selagi nenek itu jatuh jungkir balik di tanah, Ki Suro pergunakan kesempatan untuk menyambut dan menahan jatuhnya kitab daun lontar yang melayang ke tanah dengan ujung tongkat bambu kuningnya. Dengan tongkat dia memutar kitab itu demikian rupa hingga melayang masuk ke dalam tangan kirinya! “Kiai jahanam! Aku mengadu jiwa denganmu!” teriak Si Lidah Bangkai. Dengan cepat dia melompat bangkit tapi agak terbungkuk karena rasa sesak dan sakit di dadanya akibat ‘tempelan’ kaki Ki Suro tadi. “Lidah Bangkai, aku sudah memperingatkan sampeyan berulang kali. Tapi sampeyan hanya mendengar suara hati sendiri. Sampeyan menjual, aku terpaksa membeli. Sampeyan yang meminta, aku terpaksa memberi. Sekarang nyatanya sampeyan masih menunjukkan sikap keras hati keras kepala...” “Jangan banyak bicara! Lihat serangan! Ajalmu sudah di depan mata!” teriak Si Lidah Bangkai. Laksana terbang tubuhnya melesat di udara. Dua tangannya didorongkan ke depan. Dari telapak tangannya kiri kanan menyembur keluar dua larik sinar hitam. Dua sinar hitam ini melesat ganas dalam keadaan saling bergerak bersilangan satu sama lain seperti mata gunting. “Gunting Iblis!” seru Ki Suro yang mengenali ilmu kesaktian yang dipergunakan si nenek untuk menyerang. Kakek ini tabahkan diri menghadapi serangan ganas. Dia pernah mendengar, selama malang melintang di kawasan timur, ilmu kesaktian Gunting Iblis itu menjadi momok nomor satu bagi musuh Si Lidah Bangkai. Banyak lawan yang tidak mampu menyelamatkan diri dari serangan ini. Kalaupun sanggup tubuhnya akan mengalami cacat mengerikan seumur hidup! Si Lidah Bangkai sendiri sudah memastikan bahwa Ki Suro Gusti Bendoro tidak akan mampu menghadapi ilmu Gunting Iblis-nya. Tetapi betapa terkejutnya si nenek ketika tiba-tiba di depan sana sosok kakek berjubah putih itu lenyap seolah ditelan bumi. Dua larik sinar hitam pukulan saktinya menghantam tempat kosong lalu merambas serumpunan semak belukar dan sebuah batu besar. Semak belukar dan batu besar hancur bertaburan! “Kiai jahanam! Kau mau kabur ke mana! Pengecut!” teriak Si Lidah Bangkai. “Aku di sini Lidah Bangkai. Sampeyan kurang memasang mata!” tiba-tiba terdengar suara Ki Suro di belakang. Si nenek cepat membalik sambil kembali hendak menghantam dengan pukulan Gunting Iblis. Tapi sebelum dua tangannya sempat bergerak ke depan tiba-tiba dia melihat satu benda panjang berwarna merah berkelebat ke arahnya. Begitu cepatnya gerakan benda ini hingga Si Lidah Bangkai tidak mampu berkelit. Tahu-tahu dua tangannya sudah tergulung. Di lain kejap sekujur tubuhnya mulai dari pinggang sampai ke bahu telah terikat! “Celaka! Apa yang terjadi dengan diriku! Apa yang menjerat tubuhku hingga aku tidak mampu menggerakkan dua tangan! Tidak mampu melepaskan diri!” Dalam gelap si nenek buka matanya lebar-lebar. Mukanya yang penuh sisik hitam kebiruan menjadi tegang kaku ketika menyadari bahwa benda yang mengikat tubuhnya saat itu bukan lain adalah cambuk lidah miliknya sendiri! Saat itu Ki Suro Gusti Bendoro melangkah mendekati si nenek. “Kau mau membunuhku silakan! Jangan mengira aku mau menjatuhkan diri berlutut dan bersujud di hadapanmu, minta ampun minta dikasihani!” Ucapan si nenek masih keras lantang. Ki Suro tersenyum dan gelengkan kepalanya. “Aku memperlakukan sampeyan seperti ini karena tidak mau kehilangan waktu sholat Magrib-ku. Aku bukan raja kepada siapa kau harus berlutut. Lalu ingat satu hal ini baik-baik. Manusia tidak layak menyembah bersujud pada sesama manusia. Hanya Tuhanlah satu-satunya yang layak dan harus disembah! Semoga Tuhan memberi petunjuk padamu Lidah Bangkai. Usiamu sudah sangat lanjut. Bertobatlah selagi pintu tobat terbuka.” Si Lidah Bangkai meludah ke tanah. “Tak perlu kau mengajari diriku Kiai! Hari ini kau merasa menang dan memperhinakan diriku! Tunggu saatnya. Aku akan kembali melakukan pembalasan! Aku akan kembali mengambil kitab dan nyawamu!” Ki Suro menarik nafas panjang. “Lidah Bangkai, tak ada yang kalah tak ada yang menang di antara kita. Terserah padamu. Aku hanya memberitahu. Kita sesama insan wajib memberi ingat...” Si Lidah Bangkai tidak perdulikan ucapan Ki Suro. Nenek ini balikkan diri lalu dalam keadaan tubuh bagian atas masih terikat dia tinggalkan tempat itu. Sesaat setelah Si Lidah Bangkai lenyap dalam kegelapan, Ki Suro yang cukup tahu kawasan di pinggiran desa itu segera menuju ke sebuah mata air kecil. Selesai membersihkan diri dan pakaiannya dia mengambil wudhu lalu di satu tempat yang bersih Kiai ini melakukan sembahyang Magrib. Belum lagi selesai dia menunaikan sholatnya, tiba-tiba dua bayangan berkelebat dari samping kiri. *** WALAU dua tangannya berada dalam keadaan terikat dan kegelapan menyungkup di sepanjang jalan yang dilaluinya, namun Si Lidah Bangkai masih sanggup berlari cepat. Di satu tempat dia hentikan larinya ketika tiba-tiba ada satu bayangan berkelebat di hadapannya. Si nenek cepat menyelinap di balik sebatang pohon besar. Menunggu beberapa lama bayangan tadi tidak kelihatan lagi. Tapi Si Lidah Bangkai yakin siapapun adanya orang itu, dia pasti mendekam di satu tempat tengah memperhatikannya. Ditunggu-tunggu orang tadi tak juga muncul memperlihatkan diri, akhirnya si nenek lanjutkan perjalanan. Tapi baru berjalan kurang dari sepuluh tombak tiba-tiba kembali dia melihat bayangan itu berkelebat lagi di hadapannya. “Makhluk kurang ajar!” si nenek berteriak, “Jangan berani mundar-mandir di hadapanku! Sekali lagi kau berkelebat, kuputus nyawamu!” Lalu nenek ini buka mulutnya, siap untuk menyemburkan hawa jahat. Baru saja si nenek membentak begitu, dari kepekatan malam di depan sana terdengar orang berseru, “Lidah Bangkai! Aku mengenali suaramu! Memang benar kau rupanya! Tadinya aku merasa ragu!” Semak belukar lebat di depan kiri Si Lidah Bangkai tersibak lebar. Muncul satu sosok tua kurus tinggi, berbaju kuning lengan panjang, bercelana hitam setinggi lutut. Di punggungnya ada satu bumbung bambu. Orang tua ini melangkah terbungkuk-bungkuk mendekati si nenek. Si Lidah Bangkai buka matanya lebar-lebar. Pada jarak empat langkah baru dia mengenali siapa adanya orang itu. Maka diapun berseru, “Tumenggung Pakubumi! Kau rupanya! Kukira hantu dari mana yang kesasar mau jahil mempermainkanku!” Si nenek lalu tertawa mengikik. “Ssssttt! Jangan bicara keras-keras! Jangan menyebut nama asliku! Dalam rimba belantara ini bisa ada belasan mata yang melihat dan belasan telinga yang mendengar!” Orang tua bungkuk berbaju kuning berkata sambil silangkan telunjuk tangan kirinya di atas bibir. “Sudah! Jangan banyak bicara dulu! Lekas kau lepaskan ikatan yang melilit tubuhku!” kata si nenek. Orang yang disebut sebagai Tumenggung Pakubumi itu melangkah lebih dekat. “Astaga!” kejutnya, “Benda yang mengikatmu ini bukankah cambuk lidah milikmu sendiri? Senjata makan tuan! Pantas saja kau tidak mampu membukanya sendiri! Apa yang terjadi?” “Kau tolong saja melepaskan, sambil membaca manteranya. Kau pasti masih ingat mantera itu! Sementara kau menolong aku akan ceritakan apa yang kualami! Aku berhasil menemui Kiai Suro Gusti Bendoro!” “Kau! Jadi kau dapatkan kitab pusaka keraton yang jadi bahan pembicaraan dan dicari orang sejak puluhan tahun itu?” Si Lidah Bangkai gelengkan kepala. “Mulailah melepaskan ikatanku! Aku akan mulai menceritakan kejadiannya padamu. Tumenggung, aku lupa siapa nama samaran yang kau pergunakan sampai saat ini?” “Kala Srenggi,” jawab orang tua baju kuning. Si nenek menyeringai. “Kala Srenggi! Nama edan! Hik...hik! Pantas kulihat kau masih membawa bumbung bambu berisi binatang-binatang celaka itu!” Tumenggung Pakubumi alias Kala Srenggi mulai membaca mantera. Dua tangannya perlahan-lahan membuka lipatan cambuk lidah yang menggulung separuh tubuh si nenek di sebelah atas. Sementara ditolong Si Lidah Bangkai menuturkan pertemuan dan pertempurannya dengan Ki Suro Gusti Bendoro. “Kitab yang dicari-cari para tokoh silat dan pejabat kerajaan bahkan diinginkan oleh Sultan ternyata memang ada di tangan Kiai itu. Aku sudah siap mengadu nyawa untuk merebutnya. Ternyata Ki Suro memiliki kesaktian tinggi luar biasa. Ketika aku menelan tongkat bambunya dia mampu menariknya keluar dari perutku lewat pusar tanpa aku mengalami cidera! Sewaktu aku hendak menghantamnya kembali dengan pukulan Gunting Iblis, dia malah pergunakan cambuk lidahku untuk meringkus diriku! Kiai jahanam! Aku bersumpah untuk menguliti tubuhnya, mencincang daging dan tulang belulangnya!” “Cambuk lidah yang mengikatmu sudah kulepaskan! Mau kau apakan benda ini?” Mendengar ucapan Kala Srenggi dan melihat cambuk lidah yang mengikat tubuhnya sebelah atas memang sudah terlepas, dengan cepat si nenek mengambil cambuk lidah itu lalu memasukkannya ke dalam mulut dan menyedot. Wettt... weetttt! Cambuk lidah sepanjang lebih dari dua tombak itu lenyap di dalam mulut si Lidah Bangkai. “Ilmu gila!” kata Kala Srenggi sambil gelengkan kepala, “Sekarang apa yang akan kau lakukan?” “Menurutmu bagaimana?” si nenek balik bertanya. “Sebenarnya aku masih ada satu urusan penting di Demak. Tapi mendengar penuturanmu tentang kitab Hikayat Keraton Kuno itu aku jadi tertarik. Kurasa Kiai itu masih ada di tempat kau sebelumnya meninggalkannya. Kalaupun dia sudah pergi pasti belum terlalu jauh! Kita datangi dia kembali!” “Aku setuju. Tapi ingat, Kala Srenggi. Aku bicara berpahit-pahit lebih dulu. Terus-terang aku tidak begitu percaya padamu. Kita ke sana dan kau hanya sebagai sahabat yang menolongku menghadapi Kiai itu. Soal kitab kuno itu adalah bagianku! Jangan ada pikiran kotor di benakmu untuk ingin memilikinya!” Kala Srenggi tertawa mengekeh. Dia luruskan tubuhnya. Ternyata dia bisa berdiri tegak tidak bungkuk. Rupanya membungkuk-bungkukkan diri adalah salah satu dari beberapa penyamaran yang tengah dilakukannya. Siapakah adanya Kala Srenggi ini? Seperti yang disebutkan si nenek, nama sebenarnya adalah Pakubumi. Di masa penghujung pemerintahan Pangeran Prawoto, putera mendiang Raden Patah penguasa di Demak, dia ikut bergabung dengan Si Lidah Bangkai, berserikat dengan Arya Penangsang dalam menghabisi Pangeran Prawoto dan keluarganya. Pakubumi yang saat itu sudah menduduki jabatan sebagai seorang Tumenggung mau berserikat dengan Arya Penangsang karena mengharapkan jabatan yang jauh lebih tinggi. Namun kekacauan yang kemudian terus menerus melanda Demak mengacaukan pula semua rencana Pakubumi. Di tengah-tengah kekalutan yang terjadi muncul seorang tokoh bernama Joko Tingkir yang merupakan salah seorang menantu mendiang Pangeran Prawoto dan di masa kekacauan melanda Demak menduduki jabatan sebagai Adipati di Pajang. Joko Tingkir yang kemudian lebih dikenal dengan nama Adiwijoyo menghimpun kekuatan untuk membalas kematian ayah mertuanya. Karena didukung oleh banyak pihak maka Adiwijoyo berhasil membangun satu kekuatan besar. Bersama orang-orangnya dia mencari dan membasmi mereka yang terlibat dalam pembunuhan Pangeran Prawoto. Salah seorang di antaranya adalah Tumenggung Pakubumi. Karena merasa dirinya diancam bahaya, Tumenggung Pakubumi kemudian menyembunyikan diri di satu tempat. Ketika dia muncul kembali dia menyamar sebagai seorang tua bungkuk dengan nama Kala Srenggi. *** Gudang Ebook (ebookHP.com) http://www.zheraf.net SEMBILAN BENTENG TIGA RATUS ULAR WALAU sudah mengetahui kehadiran dua orang itu di dalam gelap, namun Ki Suro Gusti Bendoro tetap khusuk dalam menunaikan sholat Magribnya. Di tempat gelap Si Lidah Bangkai berbisik pada Kala Srenggi, “Kesempatan bagus! Selagi dia sembahyang begitu rupa akan kuhantam dengan pukulan Gunting Iblis! Masakan tubuhnya tidak akan terkatung-katung!” “Tunggu dulu sahabatku Lidah Bangkai. Harap kau mau bersabar sedikit dan memberi kesempatan padaku...” “Apa maksudmu?!” tanya Si Lidah Bangkai. “Binatang peliharaanku! Sudah lama dia tidak diberi makan!” menjawab Kala Srenggi. “Kau! Bukankah kau sudah berjanji tidak akan...” “Lidah Bangkai, aku hanya berjanji tidak akan berselingkuh mengambil kitab kuno itu. Tidak ada perjanjian siapa yang harus menghabisi Ki Suro. Bukankah kau telah mempercayakan diriku sebagai orang yang akan membantu menghadapi Kiai itu. Kau tenang-tenang saja. Biar aku yang mengurusi jiwanya.” “Kalau begitu lakukan cepat!” kata Si Lidah Bangkai akhirnya menyetujui. Kala Srenggi tertawa lebar. Dia ambil bumbung bambu besar yang sejak tadi tergantung di punggungnya. Sambil mencangkung bumbung bambu itu diciumnya dua kali lalu selembar kain tebal yang menutupi ujung atas bumbung bambu dibukanya. “Anak-anakku, makanan sudah menunggu kalian. Walau mungkin dagingnya agak alot karena sudah tua, tapi masih lebih baik daripada tidak ada makanan sama sekali!” Kala Srenggi menyeringai. Ujung bumbung bambu yang terbuka diturunkannya ke tanah. Begitu bambu menyentuh tanah maka pukulan kalajengking hitam dan besar laksana kucuran air berhamburan keluar. Binatang- binatang ini merayap cepat di tanah. Seperti sudah tahu apa yang diinginkan Kala Srenggi, puluhan kalajengking itu langsung mendatangi Ki Suro Gusti Bendoro. Sang Kiai sendiri saat itu masih khusuk melakukan sembahyang. Duduk tahajud terakhir di tanah beralaskan daun-daun besar tak jauh dari sebuah mata air. Dia mendengar kedatangan kedua orang itu. Sayup-sayup dia juga mendengar pembicaraan mereka. Lalu jelas sekali telinganya menangkap suara puluhan kalajengking yang merayap di tanah mendatanginya dengan cepat. Lebih dari itu dia tahu juga bahwa kalajengking-kalajengking yang dilepas Kala Srenggi itu merupakan binatang beracun. Sekali kena sengat atau dijepit, jangankan manusia, seekor kerbau pun akan menemui ajalnya hanya dalam beberapa ketika! Tetapi sang Kiai seolah tidak perduli. Seolah dia memang sudah pasrah kalau harus menemui ajal dalam keadaan menghadap Tuhan. Hanya beberapa langkah lagi puluhan kala itu akan mencapai sosok Ki Suro, tiba-tiba tanah di sekitar tempat itu bergetar hebat. Lalu menyusul terdengar suara mendesis riuh sekali. “Apa yang terjadi?!” tanya Si Lidah Bangkai sambil pentang mata lebar-lebar dan memandang berkeliling. “Tanah bergetar. Aku mendengar suara desisan aneh,” menyahuti Kala Srenggi. Lalu Tumenggung dari Demak ini keluarkan seruan tertahan, “Lihat!” katanya seraya menunjuk ke depan. Saat itu entah dari mana datangnya tahu-tahu muncul ratusan ular berbagai ukuran dan berbagai warna. Binatang-binatang ini meluncur di tanah mengeluarkan suara menderu lalu mengelilingi sosok Ki Suro Gusti Bendoro. Kalau tadi mereka melata maka kini ratusan ular itu tegak berdiri diujung ekor masing-masing. Mereka bukan saja membentengi rapat sosok Ki Suro tapi dari mulut yang terbuka serta suara mendesis yang mereka keluarkan, jelas ratusan ular itu siap untuk menyerang puluhan kalajengking yang hendak mendatangi sang Kiai. “Ular... Banyak sekali!” kata Si Lidah Bangkai dengan tengkuk merinding. “Kurasa ada sekitar tiga ratusan...” berucap Kala Srenggi dengan suara perlahan tercekat. “Kiai satu ini memang sejak lama diketahui bersahabat dengan bangsa ular!” kata Kala Srenggi dengan rahang menggembung. “Lihat, puluhan kalajengkingmu seperti dipantek ke tanah. Tidak berani maju lebih jauh mendekati orang tua itu! Binatang-binatang itu agaknya tak bisa menembus benteng tiga ratus ekor ular!” “Aku harus memberi semangat pada mereka!” kata Kala Srenggi dengan rahang menggembung. Lalu telapak tangannya ditempelkan ke tanah. Saat itu juga menjalar getaran-getaran halus. Begitu getaran menyentuh puluhan kalajengking, ekor binatang-binatang ini langsung berjingkrak naik. Lalu laksana terbang puluhan kalajengking melesat, coba menembus barisan ular yang berdiri rapat membentengi Ki Suro. Saat itu Ki Suro baru saja selesai mengucapkan salam pertanda dia telah mengakhiri sholat Magrib-nya. Tapi lagi-lagi orang tua ini seperti tidak acuh. Begitu selesai sembahyang dia tidak langsung bangkit berdiri melainkan terus duduk bersila dan mulai berzikir. Puluhan ular di barisan terdepan yang mengelilingi Ki Suro, begitu melihat puluhan kalajengking datang menyerang segera keluarkan desisan keras lalu melesat ke depan, menyongsong datangnya serangan. Baik Kala Srenggi maupun Si Lidah Bangkai tidak pernah menyaksikan perkelahian antara binatang dengan binatang. Apalagi antara ular dengan kalajengking. Keduanya sampai leletkan lidah melihat apa yang terjadi. “Celaka! Kalajengkingku musnah semua!” ujar Kala Srenggi dengan muka memucat. Bumbung bambu yang sejak tadi dipegangnya terlepas jatuh ke tanah. “Ular-ular itu, tidak seekorpun yang cidera!” menjawab Si Lidah Bangkai, “Biar kuhantam mereka dengan pukulan Gunting Iblis!” “Aku akan membarengi dengan pukulan Jarum Tanpa Bayangan,” kata Kala Srenggi pula. Lalu ketika si nenek angkat dua tangannya, Kala Srenggi segera pula mengangkat tangan kanannya. Ilmu Jarum Tanpa Bayangan adalah ilmu kesaktian yang bisa mengeluarkan lima siuran angin dari lima ujung jari. Angin tanpa cahaya atau sinar ini di dalamnya justru terkandung puluhan jarum beracun yang tidak bisa terlihat oleh pandangan mata biasa. Akibatnya banyak musuh yang tidak bisa menghindar dari serangan tersebut dan menemui ajal dengan tubuh penuh ditancapi jarum beracun. Kali ini Ki Suro Gusti Bendoro benar-benar menghadapi maut yang mungkin tidak dapat lagi dihindarinya. Namun, sementara orang tua itu tetap melakukan zikir, tiba-tiba sekitar dua ratus ekor ular goyangkan kepala dan keluarkan suara mendesis. Seratus meluncur cepat di tanah, seratus lagi melayang setinggi pinggang. Semua melesat ke arah Kala Srenggi dan Si Lidah Bangkai! Sementara itu sisa seratus ular masih tetap tegak di atas ekor masing-masing, mengelilingi melindungi Ki Suro. Kala Srenggi dan Si Lidah Bangkai sama-sama keluarkan seruan terkejut. Mereka berusaha melompat selamatkan diri tapi puluhan ular sudah membelit melingkari dan menggelayuti tubuh mereka. Saat itulah Ki Suro Gusti Bendoro menyudahi zikirnya, bergerak dari duduknya dan bangkit berdiri. “Sahabat-sahabatku, jangan celakai dua orang itu. Semua kembali ke sini!” Mendengar ucapan sang Kiai dua ratus ular yang ada di sekujur tubuh Kala Srenggi dan Si Lidah Bangkai dengan patuh segera meluncur turun ke tanah lalu kembali berkumpul dengan seratus kawan-kawannya yang tegak mengelilingi Ki Suro. “Kalian berdua telah diselamatkan oleh Tuhan! Bersyukurlah padaNya. Tinggalkan tempat ini. Tinggalkan hidup dalam kesesatan!” Masih dalam keadaan ngeri atas apa yang barusan mereka alami, tanpa mampu berkata apa-apa lagi Kala Srenggi dan Si Lidah Bangkai segera tinggalkan tempat itu. Ki Suro memandang berkeliling pada ratusan ular yang ada di sekitarnya. “Sahabat-sahabatku, aku sangat berterima kasih atas pertolongan kalian. Karena hari sudah malam bukankah lebih baik bagi kalian kembali ke tempat masing-masing?” Tiga ratus ular mendesis panjang. Satu persatu mereka turunkan tubuh, melata di tanah. “Sekali lagi aku berterima kasih pada kalian,” kata Ki Suro lalu membungkuk memberi penghormatan. Dia baru meluruskan tubuhnya kembali setelah semua binatang itu lenyap dari tempat tersebut. Ki Suro menghela nafas lega. Dia merasa gembira karena ratusan ular itu tidak sampai menciderai Kala Srenggi dan Si Lidah Bangkai. Sambil memandang ke arah lenyapnya ke dua orang itu si kakek usap-usap dagunya yang ditumbuhi janggut putih. Dia coba mengingat-ingat, “Orangtua berbaju kuning yang datang bersama Si Lidah Bangkai tadi, aku seperti mengenali suaranya. Tetapi mengapa sosok dan wajahnya berlainan? Aku menduga jangan-jangan dia adalah... Ah! Di usia tua renta begini mungkin saja dugaanku bisa keliru. Biar aku lupakan saja dirinya. Aku harus menyempatkan memeriksa dan membaca kitab yang diberikan pengemis di pedataran Tengger itu.” Lalu orang tua ini naik ke satu bukit kecil. Dekat reruntuhan sebuah arca, Ki Suro duduk. Dikeluarkannya kitab daun lontar dari kempitan tangan kirinya dan membalik halaman pertama. *** Gudang Ebook (ebookHP.com) http://www.zheraf.net SEPULUH SUNAN AMPEL DI BAWAH penerangan bulan setengah lingkaran dan taburan bintang-bintang, Ki Suro Gusti Bendoro duduk di puncak bukit. Halaman pertama kitab daun lontar telah dibukanya. Agak sulit juga baginya untuk membaca karena selain ada beberapa bagian yang rusak, tulisan di daun lontar itu banyak yang tidak jelas lagi. Sesungguhnya sebelum manusia dilahirkan ke dunia, nasib perjalanan dirinya telah ditentukan oleh Sang Maha Pencipta, Gusti Allah Seru Sekalian Alam. Tiada beda antara insan satu... lainnya. Kecuali takwa dan kebajikan yang dibuatnya. Semua manusia dijadikan dari sumber dan bentuk yang sama. Karena itu mereka adalah bersaudara satu dengan lainnya. Tetapi di atas dunia mengapa mereka berbeda dalam pikiran, hati dan perbuatan. Mengapa tali persaudaraan mereka ubah menjadi api permusuhan. Mengapa insan lebih... bisikan setan daripada mendengarkan bisikan malaikat. Mereka saling berbunuhan dalam memperebutkan harta, tahta dan wanita. Padahal ajal manusia bukan di tangan manusia lainnya. Ajal manusia adalah kuasa Sang Pencipta. Sebelum ajal berpantang mati. Sekalipun insan berusaha mencari jalan kematiannya sendiri. Sampai di sini Ki Suro hentikan bacaannya. Dia memandang ke arah kejauhan yang diselimuti kegelapan malam. Diam-diam dia menyadari betapa usianya sudah sangat lanjut. Namun Tuhan masih memanjangkan umurnya. Entah sampai kapan. Dia lalu teringat pada mimpi yang pernah dialaminya sampai tiga kali. Ki Suro melanjutkan bacaannya kembali. Sifat dengki, iri, fitnah dan ingin berkuasa terlahir bersama lahirnya manusia. Janganlah heran kalau kemudian kutuk dan bala diturunkan Allah. Bukan hanya untuk menghu... ummat, tetapi agar mereka juga ingat, segera meninggalkan kesesatan dan kembali ke jalan yang lurus dan benar, jalan yang diredhoiNya. Sayangnya manusia bersikap pura-pura. Terkadang malah bersikap pongah dan menantang. Ketika mereka berpijak di atas harta dan duduk di atas tahta kekuasaan mereka mengira diri merekalah yang menguasai apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Mereka ingkar pada hati nurani sendiri. Terlebih dari itu mereka ingkar pada Tuhan yang menciptakan mereka. Konon malapetaka akan... menimpa negeri indah dan subur yang disebut Jawadwipa. Air mata lebih deras dari curahan hujan. Darah akan tumpah menganak sungai. Di dalam kekacauan yang berpusat dari keraton itu di mana tidak lagi diketahui mana kawan, mana lawan, mana anak mana saudara, maka ada seorang anak manusia yang akan diselamatkan oleh tangan Tuhan ke satu puncak tertinggi. Kepadanyalah segala harapan akan ditumpahkan. Kepadanyalah keraton akan banyak menggantungkan nasib. Di puncak tertinggi ini pulalah konon sudah ditakdirkan oleh Yang Kuasa seorang insan panutan akan menemui hari terakhirnya. Sementara rohnya kembali ke alam barzah, Kuasa Tuhan akan merubah jazadnya menjadi sebilah... berluk tujuh yang diciptakan Tuhan dari raga suci dan petir sakti. Kelak senjata itu akan dikenal dengan nama “Ki Ageng Pitu Bledeg”. Kelak senjata itu akan menjadi salah satu pusaka Keraton. Namun selama negeri dilanda kekacauan, anak yang mendapat pertolongan Yang Maha Kuasa itu akan menjadi pemiliknya. Dengan berkah dan perlindungan Gusti Allah kelak di kemudian hari anak itu berhak menyandang gelar “Pendekar Keris Tujuh Petir”. Barang siapa yang melangkah di jalan lurus maka Allah akan memberkatinya. Barang siapa yang menerima wasiat hikayat ini dan melakukan sesuatu yang diridhoi Allah maka kepadanya Gusti Allah menjanjikan tempat yang sebaik-baiknya di Negeri Akhirat. Tak ada ganjaran yang paling besar dan nyata selain mengerjakan perintahNya dan menjauhkan laranganNya. Selesai membaca kitab daun lontar yang hanya terdiri dari dua halaman itu ditambah sampul depan dan sampul belakang, lama Ki Suro Gusti Bendoro merenung. Dia seolah bicara dengan dirinya sendiri. “Kitab ini diberikan seorang pengemis aneh padaku di tengah gurun pasir Tengger. Dia lenyap begitu saja seolah dirinya adalah seorang malaikat Allah. Jika kuhubungkan tiga mimpi yang kualami dengan semua kejadian serta kitab daun lontar ini agaknya aku telah menerima satu amanat, satu wasiat. Di dalam kitab disebutkan satu tempat tertinggi di tanah Jawa. Jika aku hubungkan dengan kekacauan dan peristiwa berdarah yang terjadi di Demak, apalagi yang dimaksudkan dengan tempat tertinggi itu kalau bukan puncak Gunung Mahameru?” Ki Suro merasakan dadanya berdebar ketika dia ingat pada bacaan yang berbunyi “Di puncak tertinggi itu pulalah konon sudah ditakdirkan oleh Yang Maha Kuasa seorang insan akan menemui hari terakhirnya...” “Suara hatiku membisikkan aku harus pergi ke puncak Mahameru. Aku mempunyai firasat di tempat itulah agaknya hari terakhirku di dunia ini... Pendekar Keris Tujuh Petir... Apakah aku akan menemuinya di sana? Ini bukan perkara kecil. Aku butuh petunjuk.” Ki Suro memandang ke langit. Cahaya bulan setengah lingkaran kelihatan begitu indah dan terasa sejuk. Dada sang Kiai yang tadi berdebar kini menjadi tenteram kembali. Ki Suro lalu pandangi kitab daun lontar yang ada di pangkuannya. “Kitab berharga ini harus kusimpan baik-baik. Mungkin tidak akan kubawa ke puncak Mahameru. Tetapi kepada siapa kitab sangat berharga ini akan kuserahkan? Ya Allah, aku benar-benar perlu petunjukMu.” Ki Suro lalu pejamkan mata dan tampungkan dua tangannya ke atas, berdoa memohon petunjuk. Namun sampai lewat tengah malam orang tua ini masih belum menemukan apa-apa. Ki Suro lalu menghadap kiblat dan bersujud sambil kembali memanjatkan doa. Tiba-tiba Ki Suro merasakan ada getaran-getaran di keningnya yang menempel di tanah. Lalu sayup-sayup di kejauhan terdengar suara derap kaki kuda. Derapnya perlahan saja tapi tak selang berapa lama kemudian binatang itu telah berada di atas puncak bukit di hadapan Ki Suro. Perlahan-lahan Ki Suro bangkit dari sujudnya. Beberapa langkah di depannya berdiri gagah seekor kuda putih yang ekornya selalu digerak-gerakkan kian kemari. Di atas punggung binatang ini duduklah seorang berjubah dan bersorban putih. Sepasang alis matanya hitam tebal. Kumis dan janggutnya tampak rapi. Di tempat itu keadaan cukup gelap tapi anehnya Ki Suro bisa melihat keseluruhan wajah penunggang kuda ini dengan jelas. Satu wajah tua yang bersih dan tenang. Dan begitu mengenali wajah ini terkejutlah Ki Suro. Cepat-cepat dia bangkit berdiri, membungkuk dalam-dalam. Ketika dia hendak memberi salam, si penunggang kuda telah mendahului. “Salam sejahtera bagimu wahai saudaraku seiman.” “Salam sejahtera juga bagi sampeyan saudaraku seiman,” balas Ki Suro. “Maafkan saya. Jika saya boleh bertanya bukankah sampeyan ini Wali Allah yang dipanggil dengan nama Sunan Ampel? Yang saya ketahui adalah juga merupakan saudara sepupu mendiang Sultan Demak Raden Patah?” Orang di atas kuda tersenyum. “Malam begini gelap. Aku gembira kau masih bisa mengenali diriku.” “Allah Maha Besar. Sungguh satu kebahagiaan dan kehormatan dapat bertemu dengan salah seorang dari Sembilan Wali terkenal. Maafkan kelancangan saya kalau saya bertanya bagaimana Wali bisa muncul di tempat ini dan tanpa pengiring atau pengawal sama sekali?” Sunan Ampel tersenyum kembali lalu turun dari kudanya. Ki Suro cepat menghampiri Wali ini, lalu menyalaminya dengan penuh khidmat “Allah Maha Besar yang menuntun diriku ke puncak bukit ini. Allah Maha Besar pula yang menjadi pelindung diriku dan kita semua. Hingga perlu apa aku membawa pengiring dan pengawal segala? Saudaraku, melihat begitu lama sujudmu tadi, aku menduga pastilah ada satu hal teramat penting yang tengah kau mohonkan padaNya.” “Terima kasih Wali mau memperhatikan diri saya. Wali benar adanya,” kata Ki Suro. Lalu meneruskan, “Saat ini saya tengah menghadapi satu perkara besar. Menyangkut mimpi saya yang ada hubungannya dengan kitab daun lontar ini.” “Kitab apakah itu adanya saudaraku?” tanya Sunan Ampel. “Kitab ini tidak berjudul. Tapi jika membaca hikayat yang ada di dalamnya, ada sangkut pautnya dengan Keraton Demak serta masa depan tanah Jawa.” Lalu Ki Suro menceritakan isi kitab yang baru saja dibacanya. “Berbahagialah engkau saudaraku. Tuhan telah mempercayakan kitab itu padamu...” “Tapi Wali, saya rasa... Saya rasa kitab ini sebaiknya saya serahkan saja pada Wali.” Sunan Ampel tersenyum. “Pengemis aneh di gurun Tengger itu sudah mengatakan. Kitab itu berjodoh padamu. Mengapa harus kau serahkan padaku? Bawalah kitab itu ke mana kau pergi. Dengan petunjuk Allah kelak kau akan menemukan seseorang kepada siapa kitab itu bisa kau serahkan. Tetapi jika kau ingin kejelasan yang lebih baik, mengapa kau tidak melakukan sembahyang sunnat dua rakaat. Dilanjutkan dengan membaca doa petunjuk, doa Istikharah?” “Terima kasih Wali. Saya akan lakukan apa yang Wali katakan.” kata Ki Suro pula. “Aku harus melanjutkan perjalanan. Semoga Tuhan memberkahi dan melindungi dirimu saudaraku.” “Terima kasih Wali. Semoga rahmat Tuhan menjadi bagian Wali. Selamat jalan Wali. Assalam mualaikum.” Ki Suro lalu membungkuk penuh hormat. “Wa alaikum salam.” Sunan Ampel lalu naik ke atas kudanya. Tak lama setelah Sunan Ampel meninggalkan bukit kecil itu, Ki Suro Gusti Bendoro segera melakukan sembahyang sunnat dua rakaat. Selesai sembahyang Kiai ini lalu duduk bersila. Dengan penuh khidmat dia memanjatkan doa Istikharah. “Ya Tuhanku. Sesungguhnya saya minta Engkau pilihkan yang baik dengan pengetahuanMu, dan saya minta Engkau memberi saya kekuatan dengan kekuasaanMu, dan saya minta kemurahanMu yang luas, karena sesungguhnya Engkau berkuasa sedang saya tidak berkuasa, Engkau mengetahui sedang saya tidak mengetahui, dan Engkau adalah amat mengetahui perkara-perkara yang ghaib. Ya Tuhanku, kalau memang Engkau ketahui bahwa perkara ini baik bagi saya, untuk agama saya, penghidupan saya dan untuk penghabisan saya, maka berikanlah kepada saya dan mudahkanlah urusan buat saya dan berkatkanlah dia bagi saya. Dan kalau memang Engkau sudah mengetahui bahwa perkara ini tidak baik untuk saya, agama saya, untuk penghidupan saya dan untuk penghabisan saya, maka jauhkanlah dia dari saya dan jauhkanlah saya dari dia, dan berikanlah kepada saya kebaikan dari mana saja datangnya serta jadikanlah saya orang yang ridho akan dia.” Keesokan paginya, menjelang subuh ketika sang Kiai terbangun, secara aneh dia langsung teringat pada seorang sahabatnya, seorang Empu bernama Bondan Ciptaning. “Tuhan Maha Besar. Dia telah memberi petunjuk pada tua renta buruk ini. Aku harus menemui empu itu. Agaknya kepadanyalah aku harus menyerahkan kitab ini sebelum berangkat menuju puncak Mahameru.” Begitu sang Kiai membatin. Lalu dia ingat pula pada ucapan Sunan Ampel pada pertemuan di awal malam tadi. “Dengan petunjuk Allah kelak kau akan menemukan seseorang kepada siapa kitab itu bisa kau serahkan...” *** KI SURO Gusti Bendoro menatap wajah Empu Bondan Ciptaning yang memandang sayu padanya. Ki Suro maklum perasaan yang ada dalam hati sahabatnya yang sudah dianggapnya sebagai saudara itu. Karenanya dengan tersenyum dia berkata, “Saudaraku Empu Bondan Ciptaning, begitulah tadi kisah yang bisa aku tuturkan pada sampeyan. Yang Kuasa telah memberi petunjuk. Aku merasa bahagia dan lega dapat menyerahkan kitab itu pada sampeyan. Harap sampeyan mau menjaganya baik-baik. Sekarang, selagi hari masih siang, izinkan diriku berangkat menuju Gunung Mahameru.” Ki Suro memegang bahu sahabatnya itu lalu bangkit berdiri. “Tunggu dulu Ki Suro,” kata Empu Bondan Ciptaning seraya berdiri pula. “Apakah kau tidak keliru menyerahkan kitab sangat berharga dan sangat keramat ini padaku?” “Petunjuk Gusti Allah mengatakan begitu. Mana berani aku melakukan hal menyimpang dari itu. Saudaraku, agaknya apakah ada keraguan dalam hatimu?” “Tidak, sama sekali tidak ada keraguan. Ki Suro, aku mengetahui apa arti perjalananmu ke puncak Mahameru itu. Agaknya hari ini adalah hari pertemuan kita yang terakhir...” Sepasang mata Empu Bondan Ciptaning kelihatan mulai berkaca-kaca. Kembali Ki Suro Gusti Bendoro memegang bahu sahabatnya itu. Walau dia sebenarnya juga tidak dapat menahan keharuan namun dengan senyum di bibir dia berkata, “Hari ini begini indah, pertemuan kita penuh kegembiraan. Apa yang sampeyan sedihkan saudaraku? Apakah pertemuan, persahabatan dan persaudaraan itu hanya terbatas di atas dunia yang serba fana ini? Bukankah agama kita memberi petunjuk bahwa akan ada satu kehidupan baru di alam akhirat, satu kehidupan yang kekal selama-lamanya?” “Kau benar saudaraku. Mungkin aku terlalu hanyut dalam perasaan...” kata Empu Bondan Ciptaning pula sambil coba mengulum senyum. “Sebelum kita berpisah ada sesuatu yang hendak aku berikan pada sampeyan,” kata Ki Suro lalu memasukkan tangan kirinya ke dalam saku kanan jubah putihnya. Ketika tangan itu dikeluarkan kelihatanlah seuntai tasbih besar berwarna hijau terbuat dari batu giok asli berasal dari daratan Tiongkok. Empu Bondan Ciptaning bergerak mundur satu langkah. “Saudaraku Ki Suro, jangan kau bermain-main.” “Siapa bermain-main? Tasbih ini sudah aku niatkan untuk kuberikan pada sampeyan,” kata Ki Suro pula. “Tidak saudaraku. Aku tahu betul riwayat tasbih batu giok yang dikenal dengan nama Ki Ageng Bela Bumi ini. Semasa kau muda, dengan tasbih ini kau mendampingi Sultan Demak untuk membangun kerajaan...” “Lalu apa salahnya aku berikan pada saudaraku sendiri?” ujar Ki Suro lalu sebelum Empu Bondan Ciptaning sempat membuka mulut tasbih besar itu sudah dikalungkannya ke leher sang Empu. “Ki Suro, perjalanan ke puncak Gunung Mahameru jauh dan banyak rintangan serta bahayanya. Kau pasti membutuhkan tasbih sakti itu untuk melindungi dirimu...” “Yang menjadi pelindungku adalah Gusti Allah Yang Maha Kuasa. Aku cukup membawa tongkat bambu kuning ini saja,” kata Ki Suro sambil melintangkan tongkat bambu kuningnya di atas dada. “Saudaraku, aku pergi sekarang. Jaga dirimu baik-baik. Keadaan akhir-akhir ini semakin tidak karuan. Kita tidak tahu lagi mana lawan mana kawan...” “Terima kasih atas nasihatmu Ki Suro. Aku akan jaga kitab ini baik-baik. Selamat jalan, semoga Tuhan melindungimu hingga kau sampai dengan selamat ke tempat tujuan.” “Semoga Gusti Allah memberikan berkat dan perlindungan atas dirimu Empu Bondan,” kata Ki Suro lalu dua sahabat itu saling berpelukan beberapa lamanya. Sepasang mata Empu Bondan Ciptaning kembali berkaca-kaca melepas kepergian Kiai Suro Gusti Bendoro hingga akhirnya orang tua berjubah putih itu lenyap di kejauhan. Empu Bondan menarik nafas panjang. Walau sudah mendengar langsung cerita serta isi kitab daun lontar dari Ki Suro Gusti Bendoro, namun sang Empu ingin membaca sendiri apa yang tertulis di dalam kitab daun lontar yang diberikan Ki Suro kepadanya itu. Maka diapun melangkah ke tepi telaga, maksudnya hendak duduk di atas sebuah batu hitam rata. Namun baru bergerak dua langkah tiba-tiba di belakangnya terdengar derap kaki kuda. “Ada orang datang...” kata Empu Bondan dalam hati. Dia cepat menyelinapkan kitab daun lontar ke balik pakaiannya. Ketika dia memutar tubuh dua kuda besar sama-sama berwarna hitam menghambur di kiri kanannya. Kalau orang tua ini tidak gesit menghindar, pasti dia akan kena terjangan kaki atau tubuh kuda-kuda itu. Dari cara muncul kedua orang itu jelas mereka berniat jahat hendak mencelakai Empu Bondan Ciptaning. Lalu ketika dia memperhatikan siapa adanya para dua penunggang kuda, terkejutlah sang Empu. Namun dia tetap berlaku tenang, tak mau memperlihatkan rasa keterkejutannya, apalagi rasa takut. *** SEBELAS WAROK WESI GLUDUG PENUNGGANG kuda hitam di sebelah kanan bukan lain adalah nenek berjuluk Si Lidah Bangkai yang sebelumnya telah diceritakan oleh Ki Suro Gusti Bendoro. Di sampingnya juga di atas seekor kuda hitam besar duduk seorang lelaki bertubuh tinggi kekar, mengenakan celana hitam gombrong. Dadanya yang telanjang ditumbuhi bulu lebat. Orang ini memelihara rambut panjang dikuncir ke atas. Mukanya tertutup oleh kumis tebal, janggut dan cambang bawuk meranggas. Di lehernya ada sebuah kalung digantungi lima buah jimat dibungkus dengan kain hitam. Keangkeran manusia satu ini ditambah lagi dengan sepasang tangannya yang berbulu dan berwarna hitam sebatas siku ke bawah. Seperti diceritakan sebelumnya, setelah tidak mampu merampas Kitab Hikayat Keraton Kuno dari tangan Ki Suro Gusti Bendoro, bersama Kala Srenggi nenek itu melarikan diri. Namun di tengah jalan rasa dendam membuat Si Lidah Bangkai mengajak Kala Srenggi menyusun rencana untuk kembali mendatangi Ki Suro. Kala Srenggi menolak dengan alasan bahwa dia punya satu urusan penting di Demak. Alasannya itu memang benar, namun di samping itu Kala Srenggi masih ciut keberaniannya untuk menghadapi Ki Suro. Masih untung dalam pertempuran senja tadi Ki Suro tidak memerintahkan seratus ular membunuhnya, padahal binatang-binatang itu telah menggelung menggayuti dirinya. Kecewa atas penolakan Kala Srenggi, Si Lidah Bangkai tinggalkan sahabatnya itu lalu memasuki kawasan hutan Roban. Di hutan ini dia menemui seorang gembong rampok yang bukan saja malang melintang berbuat kejahatan tetapi juga diketahuinya pernah berserikat dengan kelompok jahat yang menghancurkan keraton. Ternyata tidak mudah bagi si nenek mencari tokoh penjahat yang dikenal dengan nama Warok Wesi Gludug itu. Lebih dari satu minggu menyusuri rimba belantara lebat barulah dia berhasil menemui sang Warok. Ini pun setelah dia sempat dihadang oleh tiga orang anak buah Warok Wesi Gludug yang kemudian dihajarnya lalu dipaksa membawanya ke tempat persembunyian pimpinan mereka. Kepada pimpinan rampok hutan Roban itu Si Lidah Bangkai menceritakan tentang kitab kuno yang kini berada di tangan Ki Suro Gusti Bendoro lalu mengajak Warok Wesi Gludug untuk membantu merampasnya. “Aku memang pernah mendengar riwayat kitab itu sejak belasan tahun silam. Tapi sulit dipercaya benar atau tidak keberadaannya...” kata Warok Wesi Gludug. Sesuai dengan namanya ternyata lelaki tinggi kekar dada berbulu ini memiliki suara besar keras. Siapa yang bicara dengannya akan mengiang dan tergetar gendang-gendang telinganya. Bahkan orang-orang yang tidak membekal ilmu kepandaian bisa berdebar dadanya mendengar suara sang Warok. “Aku sendiri melihat kitab itu ada pada Ki Suro, apa kau tidak percaya?” kata Si Lidah Bangkai pula. “Kalaupun memang ada pada Kiai itu, apa artinya sebuah kitab yang sudah lapuk? Apa untungnya membuang waktu bercapai-capai mendapatkannya? Di sini bersama anak buahku dalam satu minggu aku bisa mendapatkan jarahan besar, tanpa bekerja keras,” kata sang Warok lagi tetap enggan membantu Si Lidah Bangkai. Tapi si nenek berlaku cerdik. “Kalau kau tidak suka membantu tidak jadi apa,” katanya, “Aku bisa mendapatkan bantuan dari para sahabat lainnya. Hanya saja harap di kemudian hari kau tidak merasa menyesal.” “Merasa menyesal? Mengapa aku harus merasa menyesal?!” ujar Warok Wesi Gludug. “Kitab buruk itu diperebutkan banyak tokoh. Berarti ada satu rahasia besar tersimpan di dalamnya. Karena menyangkut keraton, bukan mustahil ada petunjuk tentang harta karun berupa perhiasan atau emas dalam jumlah luar biasa besar. Disembunyikan di satu tempat. Kurasa kau pernah mendengar bahwa dulu ada sebuah kapal besar dari Kerajaan Campa mendarat di pantai Demak membawa barang-barang rahasia berjumlah belasan gerobak besar!” Si nenek menyeringai sambil memperhatikan wajah kepala rampok itu. “Selamat tinggal Warok Wesi Gludug! Perintahkan anak buahmu menunjukkan jalan keluar.” Setelah berucap begitu si nenek putar tubuhnya dan cepat-cepat hendak melangkah seolah-olah dia memang benar-benar hendak tinggalkan tempat itu. Sikap Warok Wesi Gludug serta merta berubah. “Lidah Bangkai! Tunggu dulu! Aku ikut bersamamu!” Si Lidah Bangkai tertawa seperti kuda meringkik. “Kalau begitu suruh anak buahmu menyiapkan dua ekor kuda! Perjalanan kita mencari Kiai itu mungkin cukup jauh dan lama!” Si Lidah Bangkai dan Warok Wesi Gludug tinggalkan hutan Roban menunggang dua ekor kuda hitam besar. Cukup lama mereka melakukan perjalanan, berbilang hari berbilang minggu. Ketika akhirnya mereka berhasil mengetahui di mana beradanya Ki Suro Gusti Bendoro, ternyata sang Kiai dalam perjalanan ke satu tempat berdiam seorang sahabatnya yakni Empu Bondan Ciptaning. Tanpa diketahui Ki Suro kedua orang ini terus menguntit. Mereka berhasil sampai di tempat pertemuan hanya beberapa ketika sebelum Ki Suro meninggalkan tepian telaga, yaitu setelah menyerahkan kitab daun lontar pada Empu Bondan Ciptaning. “Kita biarkan dulu Kiai itu pergi, baru kita mengerjai sang Empu,” bisik Si Lidah Bangkai yang diam-diam rupanya merasa takut juga terhadap Ki Suro. Begitu Ki Suro pergi dan lenyap di kejauhan kedua orang itu menggebrak kuda masing-masing, langsung menerjang Empu Bondang Ciptaning. Setelah perhatikan dua orang di atas kuda itu sejenak, Empu Bondan segera maklum kalau orang berniat jahat terhadapnya. “Nenek satu ini jelas masih mencari dan menginginkan kitab yang ada padaku,” kata Empu Bondan Ciptaning dalam hati. “Kawannya ini kalau aku tidak salah menduga adalah pentolan kepala rampok hutan Roban bernama Warok Wesi Gludug, penjahat paling berbahaya yang dicari-cari kerajaan.” Walau sudah tahu orang berniat jahat tapi Empu Bondan Ciptaning dengan tetap tenang dan wajah polos menegur, “Salam bahagia dan selamat bagi kalian berdua. Sudah lama aku dari tempat jauh ini mendengar nama besar kalian berdua. Jika hari ini nenek hebat Si Lidah Bangkai dan orang terkenal Warok Wesi Gludug datang menyambangi diriku, sungguh aku mendapatkan satu kehormatan besar...” Setelah berucap begitu Empu Bondan Ciptaning lalu bungkukkan badannya memberi penghormatan. Si Lidah Bangkai menyeringai lalu kedipkan matanya pada Warok Wesi Gludug. Sang Warok balas kedipkan mata lalu tertawa bergelak. Suara tawanya menggetarkan seantero tempat. Apalagi karena dia mengerahkan tenaga dalam maka Empu Bondan merasa telinganya mengiang-ngiang, dadanya bergejolak dan tanah di bawah kakinya bergetar! Cepat-cepat sang Empu kerahkan tenaga dalamnya untuk menolak hawa jahat tenaga dalam orang. “Sahabatku Lidah Bangkai!” kata Warok Wesi Gludug pada si nenek di sebelahnya, “Kau dengar sendiri orang bicara baik dan sopan pada kita. Berarti kita tidak akan menemui kesulitan berurusan dengan Empu ini! Ha... ha... ha... ha!” Suara tawa Warok Wesi Gludug membahana. Dua ekor kuda hitam tersentak kaget, meringkik keras seperti ketakutan. Si Lidah Bangkai dan Warok Wesi Gludug cepat usap-usap leher binatang tunggangannya hingga dua ekor kuda ini menjadi jinak kembali. “Warok Wesi Gludug, jika kita memang berniat baik dengan siapapun kita melakukan urusan pasti tidak ada kesulitan. Gerangan urusan apakah yang kalian berdua hendak sampaikan padaku. Harap kalian mau memberitahu. Lalu gerangan apa pula yang bisa kulakukan untuk membantu kalian,” berkata Empu Bondan Ciptaning. Warok Wesi Gludug angguk-anggukkan kepala. “Orang baik... Empu baik...” katanya berulang kali lalu sepasang lengannya yang hitam digosok-gosokkan satu sama lain. Luar biasanya dua tangan yang saling digosokkan itu mengeluarkan suara grek-grek-grek seperti suara dua potong besi saling digesek. Dari sini saja sudah dapat diketahui bagaimana kehebatan sepasang tangan sang Warok. Ditambah dengan keangkeran wajah dan suaranya maka memang dia pantas dijuluki Warok Wesi Gludug yang berarti “Kepala Rampok Tangan Besi Suara Guntur”. “Empu Bondan, tentu saja kami datang bukan untuk memesan keris sakti bertuah. Karena kami tahu sudah lama kau tidak pernah duduk di belakang tungku perapian menempa keris. Kami datang membekal satu maksud baik. Sahabatku nenek berjuluk Si Lidah Bangkai ini inginkan sebuah kitab yang ada padamu. Sedangkan aku, mengingat sikapmu yang sopan aku hanya akan meminta tasbih yang melingkar di lehermu!” Selesai berucap begitu sang Warok lalu tertawa bergelak dan kembali gosok-gosokkan dua tangannya satu sama lain. Empu Bondan Ciptaning tatap wajah dua orang yang masih duduk di atas kuda itu sesaat. Sikap dan raut air mukanya tetap tenang. Tak terpengaruh oleh kata-kata Warok Wesi Gludug tadi padahal orang sudah jelas menyatakan maksud buruknya. “Warok Wesi Gludug, kau menyebut sebuah kitab. Bisa kau menerangkan kitab apa yang kau maksudkan?” bertanya sang Empu. “Biar aku yang menjawab!” kata Si Lidah Bangkai setelah berdiam diri saja dari tadi, “Kitab yang kami maksudkan adalah sebuah kitab terbuat dari daun lontar. Berisi hikayat keraton kuno...” “Ah, kitab itu rupanya,” ujar Empu Bondan sambil mengangguk-angguk. Sebelum dia meneruskan Si Lidah Bangkai kembali membuka mulut, “Seorang Empu tidak akan berkata dusta! Kami melihat sendiri sebelum pergi Kiai Suro Gusti Bendoro menyerahkan kitab itu padamu! Jadi jangan berkilah kitab itu tidak ada padamu!” Empu Bondan tersenyum. “Kitab yang kalian maksudkan itu memang ada padaku. Tapi harap diketahui, kitab itu bukan milikku. Ki Suro hanya menitipkan padaku agar aku menjaganya baik-baik. Jadi harap dimaafkan kalau aku tidak mungkin menyerahkan kitab itu pada kalian...” “Hemmm... Begitu?” ujar Si Lidah Bangkai. Sisik hitam kebiruan yang menutupi wajahnya langsung kaku berdiri. Lidahnya yang merah bercabang menjulur menyemburkan percikan cairan merah. “Kami meminta dengan baik...” Nada suara Si Lidah Bangkai mengandung ancaman. “Akupun menolak dengan baik,” jawab Empu Bondan. Amarah Si Lidah Bangkai jadi menggelegak. “Empu tolol! Tua bangka yang sudah bau tanah! Rupanya kau ingin menemui ajal lebih cepat dari takdir!” “Kita manusia jangan menyalahi ketentuan Yang Maha Kuasa. Soal nyawa dan takdir adalah kuasanya Dia Yang Tunggal,” jawa Empu Bondan pula. “Bagaimana dengan kalung tasbih batu Giok yang tergantung di lehermu Empu?” bertanya Warok Wesi Gludug, “Apakah kau juga tidak mau menyerahkannya padaku?!” “Sama saja Warok. Tasbih ini juga titipan orang. Apapun yang terjadi aku harus menjaganya baik-baik.” Jawab Empu Bondan. Warok Wesi Gludug berpaling pada Si Lidah Bangkai. Dua orang ini lalu tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba tawa mereka lenyap. Warok Wesi Gluduk keluarkan bentakan garang yang membuat kawasan sekitar telaga jadi bergetar. Air telaga beriak keras. Daun-daun pepohonan bergeser bergemerisik. Si Lidah Bangkai tak mau kalah. Dia keluarkan satu pekik nyaring. Lidahnya bergulung keluar. Lalu sekali membuat gerakan, sosok sang Warok dan si nenek melesat ke atas, begitu turun langsung menyerang ke arah Empu Bondan Ciptaning. “Tuhan! Saya berpegang pada kekuatanMu dan berlindung di bawah kekuasaanMu. Tolong saya menghadapi manusia-manusia saat ini! Ampuni dosa saya kalau saya sampai menjatuhkan tangan jahat terhadap mereka!” Empu Bondan Ciptaning berkata dalam hati. Lalu dua kakinya digeserkan. Beettt! Sosok sang Empu berkelebat lenyap. Yang kelihatan hanya bayang-bayang biru warna pakaiannya. Warok Wesi Gludug dan Si Lidah Bangkai berseru kaget ketika dapatkan serangan ganas yang mereka lancarkan hanya menghantam tempat kosong. Di tanah kelihatan dua lobang besar. Yang satu berwarna merah akibat hantaman ujung lidah bercabang Si Lidah Bangkai. Satunya lagi lobang berwarna hitam bekas terkena pukulan tangan besi sang Warok! *** Bersambung di Episode Selanjutnya: Petir Di Mahameru 3 Gudang Ebook (ebookHP.com) http://www.zheraf.net